I.
Latar
Belakang Permasalahan
Perkembangan Arsitektur Klasik Barat,
telah menjadi pusat perhatian dunia di dalam mempelajari estetika di dalam ber-arsitektur.
Sebagai puncak kepuasan tertinggi akan nilai estetika, telah ditunjukkan pada
masa setelah Renaissance, bahwa minat akan “yang ocial” (luhur) adalah sebagai
puncak segala kategori keindahan (Edmund Burke, Estetikus Inggris, 1728-1797).
Pemikiran-pemikiran yang sepadan dengan itu, telah mengantarkan pada paham yang
mengutamakan pentingnya emosi pribadi pencipta karya seni (Johann Wolfgang von
Goethe, 1749-1832). Sehingga muncullah istilah periode Baroque (1600-1750) yang
memiliki ekspresi penuh emosional, dan sesuai dengan penggambaran dari asal
katanya – Barroco (bahasa Portugis),
yang berarti “oddly shaped pearl”
atau mutiara berbentuk aneh – yang menunjukkan bahwa zaman tersebut memiliki
perpaduan paham yang kompleks.
Apabila kemunculan Barok dapat dikatakan
sebagai ekspresi yang berlebih atau
puncaknya akan rasa, maka Arsitektur Gianyar Bali juga telah turut hadir
dalam kemeriahan ekspresi di dalam ber-arsitektur di Indonesia. Dalam arsitektur, gaya Barok sesuai dengan fungsi bangunannya, bahwa Gereja untuk menunjukkan inspirasi pengabdian dan untuk menyambut umat-Nya, dan istana atau bangunan pemerintah untuk menciptakan
kekaguman dan menekankan kekuatan dan kemewahan raja dan pengadilan.
Apakah kemudian hal tersebut berlaku pula bagi kehadiran Arsitektur Pura dan
Puri di Bali? Sehingga lingkup obyek yang disandingkan adalah antara obyek
gereja yang mewakili Arsitektur Barok, dengan obyek Pura yang mewakili
Arsitektur Gianyar Bali; serta bangunan rumah tinggal (kebangsawanan) untuk
kedua obyek tersebut. Kehadiran Arsitektur Barok dengan Arsitektur Gianyar
Bali, keduanya, meskipun berada pada belahan dunia yang berbeda, namun ekspresi
ocialt yang ditampilkan sama-sama beragamnya dan sama-sama dihadirkan secara
penuh. Mengingat bahwa kehadiran Arsitektur Barok dan Arsitektur Gianyar Bali
sama-sama memiliki kemeriahan (melalui ornamentasi dan dekorasi), dengan
menggunakan pendekatan Medianostic, apakah cukup untuk memberikan referensi
adanya kemungkinan bahwa keduanya memiliki pembacaan estetika yang sama?
II.
Indikator
Penelitian
Dalam
penjelasan makna referensial, menurut Hersberger, pengguna arsitektur
(kadang-kadang) melihat bentuk atau forms sebagai tanda atau symbol dari obyek/
peristiwa lain. Adapun proses pemaknaan referensial memiliki tiga level dasar,
diantaranya pengenalan use (jenis
penggunaann), purpose (tujuan, dimana
dan untuk apa), dan value-nya (nilai
yang terkandung). Ketiga perihal tersebut ditelusuri melalui pendekatan sejarah
dan sumber kritik oleh beberapa pakar.
Sedangkan pada penjelasan makna presentasional, bentuk (form) arsitektur
hadir secara langsung dan simultan kepada pengamat (viewer), pendengar (hearer)
dan perasaan pengamat (feeler)-nya, bukan sebagai tanda/ sign, karena
representasi yang ditimbulkan bukan dari bentuk, obyek atau peristiwa yang
telah dieksperiensi di waktu yang lalu, tapi dari bentuk yang diamati itu
sendiri, sehingga lebih bersifat ikonik, yang sama dengan bentuk yang diamati.
Adapun proses pemaknaan presentasional memiliki tiga level dasar pula,
diantaranya Pengenalan Bentuk, Pengkategorisasian Bentuk, dan Penyadaran Status
Bentuk. Ketiga perihal tersebut ditelusuri melalui kajian obyek-obyek di Eropa
Timur dan obyek di Amerika Latin yang paling eklektik, yang merujuk pada kehadiran kemeriahan,
diantaranya sebagai berikut:
1) Pengenalan Bentuk dan pengkategorisasian
bentuk melalui proses tipo-morfologi dari karakter elemen ornamentasi yang
disebut sebagai penyedia ocial kemeriahan
2) Penyadaran Status Bentuk, berkaitan dengan
fungsi elemen arsitektural yang dapat memberikan status (bisa pula dikaitkan
dengan Teori Wolfflin dalam menilai karakter Barok)
Selanjutnya dilakukan proses pengkategorian
dan elaborasi melalui pendekatan Medianostic (Sensory values, Formal values,
Expression/ Associational values),
sehingga didapatkan sistem tampilan estetika (Sistem 1) yang meliputi : Formal Aesthetics (Tipologi
Bentuk), Sensory Aesthetics (Mindset Bentuk), Symbolic Aesthetics (Konteks,
Unsur dan Faktor Bentuk).
Menurut
Lang, Artefak merangsang manusia dengan sensasi-sensasi/ imaji dari
sensasi-senssi tersebut/ yang berasosiasi dengannya. Lingkungan yang indah
dapat memberikan kesenangan pada orang yang melihatnya, diantaranya:
1) Sensory
Values, yang ditimbulkan oleh
sensasi yang dapat menyenangkan, yang diperoleh melalui indera manusia, seperti
warna, bau, suara dan tekstur lingkungan. Perihal ini diperoleh dengan
menyandingkan pernyataan para pengamat, baik dari kalangan pakar maupun
masyarakat umum, dengan kajian yang didapat dari proses tipo-morfologi atas
obyek terpilih
2) Formal
Values, yang muncul dari
aturan/ tatanan material-material sensori, kesenangan yang diperoleh dari
struktur/ pola suatu artefak/ suatu proses, dapat meliputi ukuran, bentuk,
warna dan keseimbangan, yang memperhatikan ritme, kompleksitas dan sekuen atas
visual, melalui kajian yang didapat dari proses tipo-morfologi atas obyek
terpilih
3) Expression/
Associational Values, muncul dari
imaji akibat “Sensory Values” yang terdiri dari:
· Aesthetics Values: Persepsi bahwa sesuatu itu indah karena mempunyai
asosiasi dengan observernya
·
Practical Values: Ekspresi utilitas suatu obyek
· Negative Values: Kesenangan yang diperoleh dari hal-hal yang
menimbulkan shock atau kejutan, hal yang aneh, menakutkan
Perihal ini juga diperoleh dengan menyandingkan
pernyataan para pengamat, baik dari kalangan pakar maupun masyarakat umum,
dengan kajian yang didapat dari proses tipo-morfologi atas obyek terpilih.
Selanjutnya,
bahan kajian Estetika Barok yang telah ditelusuri tipologi bentuk; mindset
bentuk; konteks, ocial dan faktor bentuk-nya, digunakan untuk menyelidiki obyek
kasus Arsitektur Gianyar Bali (Fenomena
2), berkaitan dengan tampilan estetika yang menunjukkan kemeriahan hingga
sampai pada tahap eklektik. Sehingga menghasilkan bahan diskusi diantaranya:
Barok Eropa, Barok Amerika Latin, dan Barok “Bali” (yang meminjam dari ‘sifat’
Barok Amerika Latin yang paling eklektik (Sistem
2). Pada akhirnya, sampai pada kesimpulan bahwa Estetika Arsitektur Gianyar
Bali dapat/ tidak dapat dinilai estetis, jika dinilai melalui ‘kacamata’
estetika Arsitektur Barok.
III. Kesimpulan Pemaknaan Referensial (Setelah
Pengkategorisasian menurut Pendapat Heinrich Wolfflin serta Pendapat Pengamat
lainnya)
Pada
Arsitektur Barok, upaya penggunaan dan penerapan bentuk tertentu menyesuaikan
dengan kandungan nilai (values) yang ingin dihasilkan, diantaranya
menciptakan kehebohan, kegembiraan yang meluap-luap hingga sampai pada tahap
yang ‘menyesakkan’, penuh kemabuk-kepayangan, serta penuh dengan adegan yang teatrikal.
Sehinnga peran value lebih banyak memberikan pengaruh pada faktor bentuk
dibandingkan dengan peran purpose-nya yang mengarah pada fungsi.
Mewujudkan kegembiraan hingga sampai pada tahap yang paling ‘menyesakkan’ salah
satunya adalah dengan menampilkan kemeriahan ornamentasi hingga pada tahap yang
paling eklektik, dimana ketumpang-tindihan mampu menghasilkan sesuatu yang
tidak berwujud dan karena itu memiliki
stimulus gerakan. Jika, selain ke-tumpang-tindihan yang parsial ini, komposisinya kompleks serta bentuk dan motif yang
membingungkan berlimpah, maka akan ada unsur-unsur yang
menghasilkan kesan luar biasa dan kemewahan yang memabukkan khas gaya barok. Sehingga, peran yang paling menentukkan dari kemunculan karakter
Barok adalah dengan menghadirkan kemewahan yang memabukkan, yang mana lebih
mengutamakan tampilan estetika daripada fungsi.
IV. Kesimpulan Pemaknaan Presentasional dari Kajian
Obyek-Obyek Arsitektur Barok di Eropa Timur dengan Arsitektur Barok Amerika
Latin
Perbedaan
karakter yang paling terasa setelah dilakukan proses penyandingan antara
Arsitektur Barok Eropa Timur dengan Arsitektur Amerika Latin adalah karakter movement
yang dapat memberikan sifat ketidak-statisan pada bentuk, yang akhirnya
memberikan pergerakan yang bebas dan halus, yang mana hal itu dimiliki
Arsitektur Barok Eropa Timur namun tidak dimiliki Arsitektur Amerika Latin.
Akibat upaya ketumpang-tindihan yang maksimal, bentuk semakin terbebani dengan
tekanan yang dihasilkan dari ‘keramaian’ dan terjebak di dalam kemeriahan motif
itu sendiri. Jika dianalogikan, seperti terjebak di dalam kerumunan orang yang
sangat padat, sehingga kesulitan untuk keluar dari tempatnya. Selain itu,
karakter Painterly Style yang paling terasa adalah kehadiran elemen
ketidak-aturan (elusiveness), yang kurang terdefinisi. Sesuai dengan penjelasan Wolfflin sebelumnya, bahwa tumpang tindih adalah salah
satu perangkat yang paling penting bagi pencapaian painterliness, untuk
itu diakui bahwa mata menjadi cepat sekali lelah saat menangkap semua hal yang ada di ‘pelukisan’ untuk dipahami dalam sekejap. Namun jika beberapa bagian dari komposisi tetap
tersembunyi dan satu objek tumpang tindih dengan yang yang lain, maka penonton akan ter-stimulasi untuk membayangkan apa yang
tidak bisa mereka melihat. Benda-benda yang
sebagian tersembunyi menjadi
kelihatannya seolah-olah bisa saja muncul setiap saat; gambar menjadi hidup, dan
bagian-bagian yang tersembunyi kemudian
benar-benar kelihatannya akan mengungkapkan diri mereka
sendiri. Sehingga, efeknya adalah kesan kefanaan.
V.
Proses
Pengkategorian dan Elaborasi dengan Pendekatan Medianostic
VI. Proses
Penyandingan Bahan Kajian Estetika
Barok dengan Arsitektur Gianyar Bali
VII. Kesimpulan
Akhir
Berdasarkan
hasil pemaparan karakteristik masing-masing obyek, maka didapatkan bahan
diskusi bagi keberadaan Arsitektur Barok Eropa, Arsitektur Barok Amerika Latin,
dan Arsitektur Barok “Bali”, melingkupi pembahasan Formal Aesthetics (Tipologi
Bentuk), Sensory Aesthetics (Mindset Bentuk), Symbolic Aesthetics (Konteks,
Unsur dan Faktor Bentuk). Namun dalam pembahasan Mindset Bentuk, ternyata hal
tersebut sulit untuk ditelusuri jika hanya melihat dari pendekatan Medianostic
ini. Karena perlu adanya pendekatan sejarah yang lebih banyak memaparkan
kondisi ocial di periodenya (Barok). Sehingga pada kesimpulan akhir kali ini
belum dapat memberikan pembuktian bahwa Arsitektur Gianyar Bali tetap dapat
terlihat estetis atau tidak dari ‘kacamata’ Arsitektur Barok. Karena salah satu
faktor pembuktiannya (Mindset Bentuk) belum dapat diketemukan. Sehingga,
laporan ini hanya mampu berhenti pada pemaparan Formal Aesthetics
(Tipologi Bentuk), dan Symbolic Aesthetics (Konteks, Unsur dan
Faktor Bentuk) pada masing-masing obyek, diantaranya:
Daftar Pustaka:
- Wolfflin,
Heinrich. 1966. Renaissance and
Baroque. Diterjemahkan oleh Kathrin Simon. New York: Cornell Univesity
Press
- L-Tapie, Victor .1961. The Age of Grandeur: Baroque Art and Architecture. Diterjemahkan oleh A. Ross Williamson. New York: Grove Press, Inc
Penulis :
Melati Rahmi Aziza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar