Selasa, 17 Juni 2014

Kajian Estetika Arsitektur Pura di Bali - Berdasarkan Teori Hubungan Manusia-Lingkungan

Kerangka Pikir

Pura sebagai tempat yang dianggap indah karena kesakralannya akan dikaji kualitas keindahannya tersebut dari segi arsitektur. Arsitektur Pura di Bali dikaji berdasarkan estetika formal untuk melihat apakah arsitektur pura tersebut indah atau tidak. Dengan pengamatan subjektif tiap pengamat tentu akan dapat dihasilkan penilaian yang tidak hanya indah atau tidak. Melalui teori hubungan manusia-lingkungan dapat diketahui lebih dalam mengapa suatu karya arsitektur dipandang indah dan tidak indah. Yaitu melalui estetika sensory, dan simbolis. Untuk itu arsitektur pura akan dikaji lebih lanjut dengan mencari penjelasan dari segi subjektifitas pengamat maupun dari peran pura tersebut sebagai suatu setting lingkungan. Sehingga akan digunakan teori pemaknaan arsitektur dan behavior setting sebagai indikator kajian lebih dalam mengenai keberhasilan estetika arsitektur pura di Bali.

Dasar Teori

1. Pemaknaan Arsitektur

Hal ini dimungkinkan karena adanya perbedaan dalam proses pemaknaan karya arsitektur tersebut oleh tiap pengamat. Proses pemaknaan arsitektur menurut Hersberger (1974) terdiri dari makna representasi dan makna responsif. Jika dikaitkan dengan kajian arsitektur pura ini, maka perbedaan pemaknaan ini dapat dilihat melalui covert act. Dimana perbedaannya dapat diamati melalui subsistem perilaku. 

Subsistem perilaku yang akan digunakan dalam indikator kajian ini adalah sebagai berikut :
· Subsistem kebudayaan, meliputi nilai-nilai filosofi dan tradisi
· Subsistem sosial, meliputi pola kehidupan sosial
· Subsistem lingkungan, meliputi stimulus eksternal dan kejadian-kejadian

2. Behavior Setting

Behavior Setting merupakan ruang yang dikenali oleh penggunanya sebagai “sesuai” untuk suatu jenis aktifitas tertentu. Pengalaman dan perilaku manusia dipengaruhi oleh peristiwa yang berada di luar individu (lingkungan ekologi) serta oleh peristiwa dan kualitas antar individu (lingkungan psikologis). Lingkungan ekologi, terutama behavior setting, memiliki struktur sendiri dan mengikuti prinsip-prinsip nonpsychological.

Dalam behavior setting yang penting adalah konfigurasi secara keseluruhan. Sehingga dapat dikatakan menjaga stabilitas yang disebabkan oleh adanya beragam mekanisme dalam suatu sirkuit Sehubungan dengan kajian arsitektur pura, akan diamati kestabilan peran-peran dalam behavior setting dari masing-masing pura, dan pengaruhnya terhadap keberhasilan estetika arsitektur pura.

Lingkup Objek Kajian

Pada penelitian ini dipilih Pura Puru Sada di Badung dengan kesederhanaan rupanya, Pura Agung Kentel Gumi di Klungkung serta Pura Batuan di Gianyar yang ramai dengan ornamen, namun ketiganya dipandang indah dengan kekhasannya masing-masing. Dan untuk bagian-bagian fisik pura yang akan diamati dibatasi pada pamesuan saja (pintu gerbang).

Hasil Kajian

Pengamatan Behavior Setting

Secara umum pura terbagi kedalam 3 mandala, sehingga dapat dikatakan setidaknya ada 3 setting fisik dalam satu halaman pura. Dimana masing-masing setting dibatasi secara fisik oleh tembok penyengker (tembok keliling) dan ditandai oleh adanya pamesuan (pintu gerbang).
· Setting 1 : nista mandala (halaman depan) untuk kegiatan bersifat publik atau persiapan upacara. Umumnya ditandai oleh candi bentar.
· Setting 2 : madya mandala (halaman tengah) untuk kegiatan persiapan upacara. Umumnya ditandai oleh candi bentar.
· Setting 3 : utama mandala (halaman utama) untuk kegiatan pelaksanaa upacara. Umumnya ditandai oleh kori agung/candi kurung yang diapit oleh oleh 2 candi bentar kecil.

Selain Pura Puru Sada, dua studi kasus yang lain terdapat beberapa perbedaan. Pura Kentel Gumi terdiri dari 5 mandala karena memang terdapat 3 pura, yaitu pura maospahit, masceti dan kentel gumi. Sehingga dalam pura ini terdapat nista mandala, madya mandala, dan 3 utama mandala, dimana mandala pura maospahit dan masceti berada di sebelah kanan dan kiri utama mandala kentel gumi, dan hanya dapat diakses melalui utama mandala. Sehingga dalam penelitian ini kedua halaman pura tersebut dapat dianggap sebagai satu setting, yaitu setting 3. Sedangkan Pura Batuan, susunan mandala tidak seperti pura pada umumnya, dimana setting 2 berada di samping setting 3, seperti terlihat pada skema di bawah :

Pada Pura Batuan, pengamatan dilaksanakan pada waktu siang hari, pada 2 momen, yaitu pada pelaksanaan persembahyangan Hari Raya Kuningan, dan pada hari biasa. Sedangkan pada dua pura lain hanya dapat terlaksana pada satu hari sebelum Hari Raya Kuningan. Pelaku dan peran yang diamati didasarkan pada subsistem budaya dan sosial yang berlaku di Bali. Pada Hari Raya Kuningan dalam setting 3 terdapat pemangku memimpin persembahyangan, umat yang bersembahyang, asisten pemangku yang memberi tirta, dan  pengunjung (turis) mengambil gambar (foto). Pada setting 2 terdapat pemangku dan asisten pemangku yang menyiapkan sarana persembahyangan dan pengunjung (turis) mengambil gambar (foto) serta pemandu wisata. Sedangkan pada setting 1 hanya dijumpat pengunjung (turis) mengambil gambar (foto) dan pemandu wisata.

Pada hari biasa, tidak nampak adanya kegiatan persembahyangan. Sehingga pada setting tidak dijumpai adanya umat dan pemangku. Hanya nampak asisten pemangku yang mebanten (mempersembahkan sesaji/banten) di areal pura pada jam-jam tertentu. Selebihnya peran yang nampak dominan adalah pengungjung yang berfoto serta pemandu wisatanya.

Pengamatan Estetika Formal 

Secara umum, dimensi dan proporsi gerbang yang tinggi dan besar menimbulkan adanya kesan kemegahan. Tatanan bentuk candi bentar yang terbuka memberikan tanggapan mengundang. Tatanan bentuk kori yang lebih megah dan tertutup memberikan tanggapan yang tidak terlalu mengundang. Pada Pura Puru Sada, permainan susunan bata merah menghasilkan pola geometris yang simetri dengan repetisi (pengulangan) pada ornamentasinya yang memberikan kesan formal. Dominasi warna merah dapat menimbulkan kesan panas, namun pada subsistem budaya masyarakat Bali, warna bata merah adalah termasuk warna yang alami. Selain itu adanya warna hijau rumput terkesan sebagai penyeimbang.

Pada Pura Kentel Gumi terdapat ketidaksimetrisan pada ornamen gerbang. Namun bentuk dasar yang simetris dan kesamaan pakem ukiran tetap dapat menimbulkan kesan simetris dan seimbang. Bentuk ukiran yang tidak detail dan banyak sudut diseimbangkan oleh ‘kepala’ dari kori yang melengkung (disebut bentala, khas Klungkung). Paduan warna merah bata dan abu-abu dari paras juga memberikan kesan seimbang.

Pada Pura Batuan, gerbang yang didominasi ukiran yang detail dan naturalis memberi kesan ramai. Kesan simetri dan seimbang dapat dirasakan dengan jelas. Namun meskipun didominasi paras berukir, warna dasar bata merah tetap terlihat jelas. Ditambah dengan warna emas prada pada pintu menambah kesan mewah pada kori agungnya.


Dalam Lang (1987), pola yang lebih kompleks memberikan daya tarik sekaligus kesenangan (pleasure). Maka dapat dikatakan bahwa kori Pura Batuan yang lebih detail dan kompleks memberikan daya tarik yang lebih dibanding dua pura yang lain.

Pengamatan Estetika Sensory

Ruang persembahyangan yang terbuka mengakibatkan kegiatan sangat bergantung cuaca sehingga estetika sensory yang dirasakan juga sangat bergantung cuaca. Estetika sensory yang terjadi dalam persembahyangan ini melibatkan sensor penglihatan, penciuman, peraba, dan pendengaran. Pencahayaannya maksimal (terang), menimbulkan adanya pembayangan. Adanya permainan warna antara merah bata, abu paras, serta hijau paving, memberi pengalaman yang beragam pada sensor penglihatan. Sensor penciuman dipengaruhi oleh aktifitas persembahyangan, yaitu adanya penggunaan dupa yang harum. Pada sensor peraba dirasakan hawa panas namun pada daerah yang berbayang timbul kesan lebih dingin, meskipun mungkin temperature sebenarnya sama. Sensor pendengaran dirasakan adanya suara-suara serangga dan suara genta pemangku selaku pemimpin upacara.

Adanya perbedaan bahan pada bagian dasar pura juga dapat berpengaruh pada sensory. Pada Pura Puru Sada seluruhnya rumput sehingga memberikan rasa segar. Pada Pura Kentel Gumi dan Batuan perkerasan paving dan rumput. Rasa nyaman bagi umat yang bersembahyang (paving) sekaligus rasa segar (rumput).

Dari estetika sensory yang ditangkap oleh beberapa indera tersebut, dapat diamati adanya pengaruh covert act terhadap overt act. Bagi pengguna (umat) yang bersembahyang, adanya harum dupa dan alunan genta memberikan suasana berbeda yang menimbulkan makna ritual pada aktifitas persembahyangan. Sehingga umat dapat melaksanakan kegiatan sembahyang lebih tenang. Pembayangan yang terjadi memberikan kesan teduh dan dingin, sehingga umat cenderung mencari tempat duduk di daerah yang berbayang. Umat cenderung duduk pada perkerasan paving, namun pada Pura Puru Sada yang tanpa paving, umat membiasakan diri duduk di rumput.

Pengamatan Estetika Simbolis

Gerbang sebagai cerminan dari pura, berdasarkan 3 definisi nilai simbolik, dapat memenuhi kebutuhan identitas, penghargaan dan afiliasi bagi masing-masing pura. Serta perbedaanya jenisnya juga memenuhi ketiga nilai tersebut dari masing-masing mandala. Dimana keindahan gerbang mencirikan kreatifitas senimannya dan khas kedaerahan.

Pada Pura Puru Sada, sebagaimana sebagian besar pura di daerah Badung dan Denpasar, gerbang pura ini menggunakan bahan utama bata merah, dengan ornamen khas hasil permainan susunan bata tersebut. Pura Kentel Gumi menggunakan bata merah dan batu paras khas Klungkung, dengan ornament yang merupakan ukiran pada batu paras. Pura Batuan juga menggunakan bata merah dan batu paras, namun yang berasal dari Gianyar. Dimana batu parasnya lebih lunak dan mudah diukir, sehingga ornamennya nampak lebih detail.

Namun, dari perbedaan-perbedaan yang ada, pakem dalam pembuatan masing-masing gerbang tetap mengacu pada Asta Kosal-Kosali. Proporsi, dimensi, serta penempatan ornamen tidak sepenuhnya bebas bagi para senimannya. Sehingga dapat dilihat adanya pengaruh subsistem kebudayaan yaitu tradisi yang cukup kuat pada masing-masing gerbang.

Gerbang ini sendiri dimaknai sebagai batas antar setting. Dimana bentuk dan ukiran gerbang juga memiliki nilai estetika simbolis tersendiri. Berdasarkan teori makna Hersberger, makna representasi ada dua, yaitu makna presentasional dan referensial. Makna presentasional pada gerbang adalah bentuknya yang terlihat menonjol dari tembok penyengker menggambarkan fungsinya sebagai pintu masuk.

Makna referensial terdiri dari 3 level dasar, yaitu recognition of use, purpose, dan value. Dimana dalam recognition of use jenis gerbang dimaknai sebagai jalan masuk ke mandala tertentu. Dalam recognition of purpose bentuk candi bentar yang terbuka dikenali sebagai tanda jalan masuk bagi pengguna, sedangkan kori yang lebih tertutup serta tangga undag dan pintu yang tertutup sebagai tanda jalan masuk untuk yang lebih “sakral”. Dan dalam recognition of value, adanya perbedaan bentuk, dimensi, dan ketinggian level candi bentar dan kori agung memiliki nilai kesakralan yang dimaknai berbeda.

Setelah terjadi proses persepsi makna dari kualitas estetika gerbang, kemudian muncul makna responsif, dimana terlihat covert act telah mempengaruhi overt act. Sehingga menimbulkan beberapa makna pada gerbang. 
· Tata krama : dimensi pintu yang kecil, hanya seukuran satu orang, menimbulkan makna bahwa pengguna harus masuk dengan tertib.

· Keamanan : keberadaan tedeng aling-aling pada sisi dalam gerbang dipercaya dapat menghalangi pengaruh negatif. Serta ukiran karang boma dan patung yang dimaknai sebagai penjaga.


· Ritual : saat ada upacara adat, gerbang selalu dihias payung dan penjor, sebagai penanda.

Kesimpulan

Pengaruh Estetika Formal pada Estetika Sensory dan Simbolis

Berdasarkan pengamatan pada tiga jenis estetika dari ketiga pura, terlihat adanya pengaruh estetika formal pada sensory dan simbolis. Dimana bentuk dan dimensi gerbang (baik candi bentar maupun kori agung) telah memberikan kesan estetis bagi pengamat yang kemudian ditangkap oleh sensor penglihatan dan dimaknai. Pemaknaan awal pada representasi dari bentuk gerbang yang kemudian dimaknai secara responsif. 

Kesan megah dan mengundang dari bentuk, ukiran, dan warna dari sebuah candi bentar ditangkap melalui estetika formal. Hal ini berpengaruh pada sensor penglihatan yang memberikan pengalaman estetika sensory. Serta adanya bentuk dasar serta ukiran yang khusus pada gerbang yang kemudian dimaknai berbeda akan memberikan nilai estetika simbolis.

Pengaruh Pemaknaan Estetika Simbolis pada Behavior Setting

Perbedaan dalam memaknai estetika terlihat berpengaruh pada pembentukan behavior setting. Perbedaan jenis gerbang berpengaruh pada pembentukan tiga setting pura. Serta payung dan penjor pada gerbang serta penghias-penghias lain pada areal pura yang menandakan adanya upacara agama berpengaruh pada pembentukan setting persembahyangan di halaman utama pura.

Daftar Pustaka

Amiranti, Sri (2014), Materi mata kuliah Arsitektur Perilaku 2, Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Lang, Jon (1987), Creating Architectural Theory : The Role of the Behavioral Sciences in Environmental Design, New York : Van Nostrand Reinhold Company.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar