Rabu, 18 Juni 2014

Pendekatan Medianostic pada Kajian Estetika Arsitektur Barok untuk Pembacaan Estetika Arsitektur Gianyar Bali

I.         Latar Belakang Permasalahan
      Perkembangan Arsitektur Klasik Barat, telah menjadi pusat perhatian dunia di dalam mempelajari estetika di dalam ber-arsitektur. Sebagai puncak kepuasan tertinggi akan nilai estetika, telah ditunjukkan pada masa setelah Renaissance, bahwa minat akan “yang ocial” (luhur) adalah sebagai puncak segala kategori keindahan (Edmund Burke, Estetikus Inggris, 1728-1797). Pemikiran-pemikiran yang sepadan dengan itu, telah mengantarkan pada paham yang mengutamakan pentingnya emosi pribadi pencipta karya seni (Johann Wolfgang von Goethe, 1749-1832). Sehingga muncullah istilah periode Baroque (1600-1750) yang memiliki ekspresi penuh emosional, dan sesuai dengan penggambaran dari asal katanya – Barroco (bahasa Portugis), yang berarti “oddly shaped pearl” atau mutiara berbentuk aneh – yang menunjukkan bahwa zaman tersebut memiliki perpaduan paham yang kompleks.
      Apabila kemunculan Barok dapat dikatakan sebagai ekspresi yang berlebih atau  puncaknya akan rasa, maka Arsitektur Gianyar Bali juga telah turut hadir dalam kemeriahan ekspresi di dalam ber-arsitektur di Indonesia. Dalam arsitektur, gaya Barok sesuai dengan fungsi bangunannya, bahwa Gereja untuk menunjukkan inspirasi pengabdian dan untuk menyambut umat-Nya, dan istana atau bangunan pemerintah untuk menciptakan kekaguman dan menekankan kekuatan dan kemewahan raja dan pengadilan. Apakah kemudian hal tersebut berlaku pula bagi kehadiran Arsitektur Pura dan Puri di Bali? Sehingga lingkup obyek yang disandingkan adalah antara obyek gereja yang mewakili Arsitektur Barok, dengan obyek Pura yang mewakili Arsitektur Gianyar Bali; serta bangunan rumah tinggal (kebangsawanan) untuk kedua obyek tersebut. Kehadiran Arsitektur Barok dengan Arsitektur Gianyar Bali, keduanya, meskipun berada pada belahan dunia yang berbeda, namun ekspresi ocialt yang ditampilkan sama-sama beragamnya dan sama-sama dihadirkan secara penuh. Mengingat bahwa kehadiran Arsitektur Barok dan Arsitektur Gianyar Bali sama-sama memiliki kemeriahan (melalui ornamentasi dan dekorasi), dengan menggunakan pendekatan Medianostic, apakah cukup untuk memberikan referensi adanya kemungkinan bahwa keduanya memiliki pembacaan estetika yang sama?


II.     Indikator Penelitian

Dalam penjelasan makna referensial, menurut Hersberger, pengguna arsitektur (kadang-kadang) melihat bentuk atau forms sebagai tanda atau symbol dari obyek/ peristiwa lain. Adapun proses pemaknaan referensial memiliki tiga level dasar, diantaranya pengenalan use (jenis penggunaann), purpose (tujuan, dimana dan untuk apa), dan value-nya (nilai yang terkandung). Ketiga perihal tersebut ditelusuri melalui pendekatan sejarah dan sumber kritik oleh beberapa pakar.  Sedangkan pada penjelasan makna presentasional, bentuk (form) arsitektur hadir secara langsung dan simultan kepada pengamat (viewer), pendengar (hearer) dan perasaan pengamat (feeler)-nya, bukan sebagai tanda/ sign, karena representasi yang ditimbulkan bukan dari bentuk, obyek atau peristiwa yang telah dieksperiensi di waktu yang lalu, tapi dari bentuk yang diamati itu sendiri, sehingga lebih bersifat ikonik, yang sama dengan bentuk yang diamati. Adapun proses pemaknaan presentasional memiliki tiga level dasar pula, diantaranya Pengenalan Bentuk, Pengkategorisasian Bentuk, dan Penyadaran Status Bentuk. Ketiga perihal tersebut ditelusuri melalui kajian obyek-obyek di Eropa Timur dan obyek di Amerika Latin yang paling eklektik,  yang merujuk pada kehadiran kemeriahan, diantaranya sebagai berikut:
1)   Pengenalan Bentuk dan pengkategorisasian bentuk melalui proses tipo-morfologi dari karakter elemen ornamentasi yang disebut sebagai penyedia ocial kemeriahan
2)    Penyadaran Status Bentuk, berkaitan dengan fungsi elemen arsitektural yang dapat memberikan status (bisa pula dikaitkan dengan Teori Wolfflin dalam menilai karakter Barok)
     Selanjutnya dilakukan proses pengkategorian dan elaborasi melalui pendekatan Medianostic (Sensory values, Formal values, Expression/ Associational values), sehingga didapatkan sistem tampilan estetika (Sistem 1) yang meliputi : Formal Aesthetics (Tipologi Bentuk), Sensory Aesthetics (Mindset Bentuk), Symbolic Aesthetics (Konteks, Unsur dan Faktor Bentuk).
     Menurut Lang, Artefak merangsang manusia dengan sensasi-sensasi/ imaji dari sensasi-senssi tersebut/ yang berasosiasi dengannya. Lingkungan yang indah dapat memberikan kesenangan pada orang yang melihatnya, diantaranya:
1)    Sensory Values, yang ditimbulkan oleh sensasi yang dapat menyenangkan, yang diperoleh melalui indera manusia, seperti warna, bau, suara dan tekstur lingkungan. Perihal ini diperoleh dengan menyandingkan pernyataan para pengamat, baik dari kalangan pakar maupun masyarakat umum, dengan kajian yang didapat dari proses tipo-morfologi atas obyek terpilih
2)  Formal Values, yang muncul dari aturan/ tatanan material-material sensori, kesenangan yang diperoleh dari struktur/ pola suatu artefak/ suatu proses, dapat meliputi ukuran, bentuk, warna dan keseimbangan, yang memperhatikan ritme, kompleksitas dan sekuen atas visual, melalui kajian yang didapat dari proses tipo-morfologi atas obyek terpilih
3)      Expression/ Associational Values, muncul dari imaji akibat “Sensory Values” yang terdiri dari:
·   Aesthetics Values: Persepsi bahwa sesuatu itu indah karena mempunyai asosiasi dengan observernya
·         Practical Values: Ekspresi utilitas suatu obyek
·     Negative Values: Kesenangan yang diperoleh dari hal-hal yang menimbulkan shock atau kejutan, hal yang aneh, menakutkan
Perihal ini juga diperoleh dengan menyandingkan pernyataan para pengamat, baik dari kalangan pakar maupun masyarakat umum, dengan kajian yang didapat dari proses tipo-morfologi atas obyek terpilih.
     Selanjutnya, bahan kajian Estetika Barok yang telah ditelusuri tipologi bentuk; mindset bentuk; konteks, ocial dan faktor bentuk-nya, digunakan untuk menyelidiki obyek kasus Arsitektur Gianyar Bali (Fenomena 2), berkaitan dengan tampilan estetika yang menunjukkan kemeriahan hingga sampai pada tahap eklektik. Sehingga menghasilkan bahan diskusi diantaranya: Barok Eropa, Barok Amerika Latin, dan Barok “Bali” (yang meminjam dari ‘sifat’ Barok Amerika Latin yang paling eklektik (Sistem 2). Pada akhirnya, sampai pada kesimpulan bahwa Estetika Arsitektur Gianyar Bali dapat/ tidak dapat dinilai estetis, jika dinilai melalui ‘kacamata’ estetika Arsitektur Barok.

III.         Kesimpulan Pemaknaan Referensial (Setelah Pengkategorisasian menurut Pendapat Heinrich Wolfflin serta Pendapat Pengamat lainnya)
     Pada Arsitektur Barok, upaya penggunaan dan penerapan bentuk tertentu menyesuaikan dengan kandungan nilai (values) yang ingin dihasilkan, diantaranya menciptakan kehebohan, kegembiraan yang meluap-luap hingga sampai pada tahap yang ‘menyesakkan’, penuh kemabuk-kepayangan, serta penuh dengan adegan yang teatrikal. Sehinnga peran value lebih banyak memberikan pengaruh pada faktor bentuk dibandingkan dengan peran purpose-nya yang mengarah pada fungsi. Mewujudkan kegembiraan hingga sampai pada tahap yang paling ‘menyesakkan’ salah satunya adalah dengan menampilkan kemeriahan ornamentasi hingga pada tahap yang paling eklektik, dimana ketumpang-tindihan mampu menghasilkan sesuatu yang tidak berwujud dan karena itu memiliki stimulus gerakan. Jika, selain ke-tumpang-tindihan yang parsial ini, komposisinya kompleks serta bentuk dan motif yang membingungkan berlimpah, maka akan ada unsur-unsur yang menghasilkan kesan luar biasa dan kemewahan yang memabukkan khas gaya barok. Sehingga, peran yang paling menentukkan dari kemunculan karakter Barok adalah dengan menghadirkan kemewahan yang memabukkan, yang mana lebih mengutamakan tampilan estetika daripada fungsi.

IV. Kesimpulan Pemaknaan Presentasional dari Kajian Obyek-Obyek Arsitektur Barok di Eropa Timur dengan Arsitektur Barok Amerika Latin
     Perbedaan karakter yang paling terasa setelah dilakukan proses penyandingan antara Arsitektur Barok Eropa Timur dengan Arsitektur Amerika Latin adalah karakter movement yang dapat memberikan sifat ketidak-statisan pada bentuk, yang akhirnya memberikan pergerakan yang bebas dan halus, yang mana hal itu dimiliki Arsitektur Barok Eropa Timur namun tidak dimiliki Arsitektur Amerika Latin. Akibat upaya ketumpang-tindihan yang maksimal, bentuk semakin terbebani dengan tekanan yang dihasilkan dari ‘keramaian’ dan terjebak di dalam kemeriahan motif itu sendiri. Jika dianalogikan, seperti terjebak di dalam kerumunan orang yang sangat padat, sehingga kesulitan untuk keluar dari tempatnya. Selain itu, karakter Painterly Style yang paling terasa adalah kehadiran elemen ketidak-aturan (elusiveness), yang kurang terdefinisi. Sesuai dengan penjelasan Wolfflin sebelumnya, bahwa tumpang tindih adalah salah satu perangkat yang paling penting bagi pencapaian painterliness, untuk itu diakui bahwa mata menjadi cepat sekali lelah saat menangkap semua hal yang ada di ‘pelukisan untuk dipahami dalam sekejap. Namun jika beberapa bagian dari komposisi tetap tersembunyi dan satu objek tumpang tindih dengan yang yang lain, maka penonton akan ter-stimulasi untuk membayangkan apa yang tidak bisa mereka melihat. Benda-benda yang sebagian tersembunyi menjadi kelihatannya seolah-olah bisa saja muncul setiap saat; gambar menjadi hidup, dan bagian-bagian yang tersembunyi kemudian benar-benar kelihatannya akan mengungkapkan diri mereka sendiri. Sehingga, efeknya adalah kesan kefanaan.

V.           Proses Pengkategorian dan Elaborasi dengan Pendekatan Medianostic


VI.  Proses Penyandingan Bahan Kajian Estetika Barok dengan Arsitektur Gianyar Bali


VII.     Kesimpulan Akhir
      Berdasarkan hasil pemaparan karakteristik masing-masing obyek, maka didapatkan bahan diskusi bagi keberadaan Arsitektur Barok Eropa, Arsitektur Barok Amerika Latin, dan Arsitektur Barok “Bali”, melingkupi pembahasan Formal Aesthetics (Tipologi Bentuk), Sensory Aesthetics (Mindset Bentuk), Symbolic Aesthetics (Konteks, Unsur dan Faktor Bentuk). Namun dalam pembahasan Mindset Bentuk, ternyata hal tersebut sulit untuk ditelusuri jika hanya melihat dari pendekatan Medianostic ini. Karena perlu adanya pendekatan sejarah yang lebih banyak memaparkan kondisi ocial di periodenya (Barok). Sehingga pada kesimpulan akhir kali ini belum dapat memberikan pembuktian bahwa Arsitektur Gianyar Bali tetap dapat terlihat estetis atau tidak dari ‘kacamata’ Arsitektur Barok. Karena salah satu faktor pembuktiannya (Mindset Bentuk) belum dapat diketemukan. Sehingga, laporan ini hanya mampu berhenti pada pemaparan Formal Aesthetics (Tipologi Bentuk), dan Symbolic Aesthetics (Konteks, Unsur dan Faktor Bentuk) pada masing-masing obyek, diantaranya:




Daftar Pustaka:

  1. Wolfflin, Heinrich. 1966. Renaissance and Baroque. Diterjemahkan oleh Kathrin Simon. New York: Cornell Univesity Press
  2. L-Tapie, Victor .1961. The Age of Grandeur: Baroque Art and Architecture. Diterjemahkan oleh A. Ross Williamson. New York: Grove Press, Inc
Penulis :
Melati Rahmi Aziza


Tidak ada komentar:

Posting Komentar